BAB S/6
KEMISKINAN DAN KESENJANGAN
A. Konsep dan Definisi
Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan.Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relative. Sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute.
Kemiskinan relatifm adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud.Kemiskinan absolute adalah derajat dari kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi.
B. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Dasar teori dan korelasi anatara pertumbuhan pendapatan per kapita dan tingkat kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan dalam distribusi pendapatan seperti yang telah dibahas.
Apabila elastisitas neto dan bruto dari kemiskinan terhadap pertumbuhan pendapatan dinyatakan masing-masing dengan g dan l, elastisitas dari ketimpangan terhadap pertumbuhan dengan b dan elastisitas dari kemiskinan terhadap ketimpangan dengan d,maka didapat persamaan :
Log Gki = a + bLogWki + ak + Ski
l = g +bd
Untuk mendapatkan elastisitas bruto dari kemiskinan terhadap pertumbuhan dan elastisitas dari kemiskinan terhadap ketimpangan (pertumbuhan sebagai variabel yang dapat dikontrol), digunakan persamaan:
LogPki = w + Log Wki +LogGki + wk + vki
Diantara Pki=kemiskinan untuk wilayah pada periode t; Wki dan Gki, wk= efek-efek yang tetap atau acak; dan vki=term kesalahan.
Dapat dilihat bahwa elastisitas pertumbuhan pendapatan dari kemiskinan untuk Asia Timur adalah yang tertinggi, disusul kemudian oleh Amerika Latin, Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara. Jadi, menurut hasil ini 1% kenaikan PN per kapita akan mengurangi kemiskinan 1,6% di Asia Timur, dan 0,7% di Afrika Sub-Sahara.
C. Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
1. Indikator Kesenjangan
Ada sejumlah cara untuk mrngukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien gini.
Yang paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.
Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Ketimpangan dikatakan sangat tinggi apabilai nilai koefisien gini berkisar antara 0,71-1,0. Ketimpangan tinggi dengan nilai koefisien gini 0,5-0,7. Ketimpangan sedang dengan nilai gini antara 0,36-0,49, dan ketimpangan dikatakan rendah dengan koefisien gini antara 0,2-0,35.
Selain alat ukur diatas, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga group : 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan. Sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.
2. Indikator Kemiskinan
Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Dengan kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (non food line).
Untuk mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk (1984) yang sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence of proverty : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H. Kedua, the dept of proverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan proverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut yang dapat dijelaskan dengan formula sebagai berikut :
Pa = (1 / n) ∑i [(z - yi) / z]a
Indeks Pa ini sensitif terhadap distribusi jika a >1. Bagian [(z - yi) / z] adalah perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok keluarga miskin (yi) dalam bentuk suatu presentase dari garis kemiskinan. Sedangkan bagian [(z - yi) / z]a adalah presentase eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor, dan kalau dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi (n) maka menghasilkan indeks Pa.
Ketiga, the severity of property yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK. Namun, selain mengukur jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut Distributionally Sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
D. Temuan Empiris
Distribusi Pendapatan
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (susenas).Data pemngeluaran konsumsi di pakai sebagai suatu pendekatan untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat. Walupun di akui bahwa cara ini sebenarnya mempuanyai suatu kelemahan yang serius : data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapata, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya
Jumlah pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bisa lebih besar atau lebih kecil. Misalnya, pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsinya juga besar, karena ada tabungan, sedangkan, jika jumlah pendapatannya rendah tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah.
Banyak rumah tangga memakai kredit dank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu, misalnya untuk beli rumah dan mobil, dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan untuk liburan. Demikian pula pengertian pendapatan , yang artinya pembayaran yang didapat karena bekerja atau menjual jasa, tidak sama dengan pengertian kekayaan.kekayaan seseorang bisa jauh lebih besar dari pada pendapatannya. Atau , seseorang bisa saja tidak punya pekerjaan tetapi ia sangat kaya karena ada warisan keluaarga.
Banyak pengusaha-pengusaha di Indonesia kalau di ukur dari tingkat pendapatan mereka tidak terlalu berlebihan , tetapi mereka sangat kayak arena perusahaan bdi mana mereka bekerja adalah milik mereka
Secara Teoritis Perubahan Pola Distribusi Pendapatan di Pedesaan dapat disebabkan Oleh factor-faktor berikut ini:
1) Akibat arus penduduk/ L dari pedesaan ke perkotaan yang selama Orde Baru berlangsung sangat pesat.
Sesuai teori A. Lewis (1954), perpindahan orang dari pedesaan ke perkotaan memberi suatu dampak positif terhadap perekonomian di pedesaan : kesempatan kerja produktif , tingkat pruduktivitas dan pendapatan rata-rata masyarakat di pedesaan meningkat. Sedangkan ekonomi perkotaan pada suatu saat akhiynya tidak mampu menampung suplai L yang meningkat terus setiap tahunnya , yang sebagian besar adalah pandatang dari pedesaan, yang akhirnya berakibat pada peningkatan pengangguran, di suatu pihak, dan menurunnya laju pertumbuhan tingkat upah/gaji, di pihak lain.
2) Struktur pasar dan besarnya distorsi yang berada di pedesaan dengan di perkotaan.
Di pedesaan jumlah sector relative lebih kecil dibandingkan di perkotaan. Dan sector-sektor yang ada di pedesaan lebih kecil (dilihat dari jumlah unit usaha di dalam dan output yang dihasilkan oleh sector)di bandingkan sector-sektor yang sama di perkotaan. Perbedaan ini di tambah dengan tingkat pendapatan perkapita di pedesan yang lebih rendah dari pada perkotaan membuat struktur pasar di pedesaan jauh lebih sederhana di perkotaan. Struktur pasar yang sederhana ini membuat distorsi pasar juga relative lebih kecil di pedesaan di bandingkan di perkotaan.
3) Dampak positif dari proses pembangunan ekonomi nasional. Dampak tersebut bisa dalam beragam bentuk, di antaranya :
Ø Semakin banyak kegiatan-kegiatan ekonomi di pedesaan di luar sector pertanian, seperti industri manufaktur (kebanyakan dalam sekala kecil, atau industri rumah tangga , perdagangan, perbengkelan dan jasa lainnya, serta bangunan). Diservikasi ekonomi pedesaan ini tentu menambah jumlah kesempatan kerja di pedesaan dan juga menambah pendapatan petani
Ø Tingkat produktivitasdan pendapatan (dalam nilai rill) L di sector pertanian meningkat. Bukan saja akibat arus manusia dari sector tersebut ke sektur0sektor lainnya di perkotaan (seperti di dalam teori A. Lewis )tetapi juga akibat penerapan /pemakaian T baru dan penggunaan input-input yang lebih baik , misalnya pupuk hasil pabrik, dan permintaan pasar domestic dan X terhadap komoditas kompditas pertanian meningkat
Ø Potensi SDA yang ada di pedesaan semakin baik di manfaatkan oleh penduduk desa (pemakaian semakin optimal).
Tiga alas an utama kenapa kesenjangan pendapatan mempunyai suatu efek negative yang langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, yakni kesenjangan :
a) mengurangi kesempatan;
b) mengurangi inentif peminjaman dana; dan
c) menciptakan ekonomi makro yang tidak stabil.
Kemiskinan
Kemiskinan bukan hanya masalah Indonesia, tetapi merupakan masalah dunia. Laporan Bank Dunia menunjukan bahwa tahun 1998 terdapat I,2 miliar orang miskin dari sekitar 5 miliar lebih jumlah p[enduduk di dunia. Sebagiab besar dari juml;ah tersebut terdapat di Asia Selatan (43,5%) yang terkonsentrasi di India, Bangladesh, Nepal, Sri Lanka, dan Pakistan. Afrika subhara merupakan wilatah kedua di dunia yang padat orang miskin (24,3%). Kemiskinan di wilayah ini terutama disebabkan oleh iklim dan kondisi tanah yang tidak mendukung kegiatan pertanian (kekeringan dan gersang), pertikaian yang tidak henti-hentinya antarsuku, manajemen ekonomi makro yang buruk dan pemerintahan yang bobrok. Wilayah ketiga yang terdapat banyak orang miskin adalah Asia Tenggara dan Pasifik (23,2%). Kemiskinan di Asia Tenggara terutama terdapat di Cina, Laos, Indonesia, Vietnam, Thailand, Dan kamboja.Sisanya terdapat di Amerika Latin dan Negara-negara karibia (6,5%), Eropa dan asia Tenggara, serta Timur tengah dan Afrika Utara.
E. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan
Dalam masalah Suara Yaahowu (yang tidak terbit lagi) no. 4 Tahun 1 September 1996, Juliman Harefa mengutuip Suara Yaahowu edisi perdana (yang penulis tidak miliki) yang merangkum 7 hal penyebab keterbelakangan Nias. Ketujuh hal tersebut adalah:
(1) tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata rendah,
(2) cara berpikir yang masih tradisional dan konservatif, apatis dan anti hal- hal baru,
(3) mentalitas dan etos kerja yang kurang baik,
(4) keadaan alam yang kurang mendukung,
(5) keterisoliran secara geografis dari pusat,
(6) tiadanya potensi atau produk andalan,
(7) rendahnya kinerja dan budaya korup aparatur pemerintah daerah.
Faktor-faktor di atas dapat diperdebatkan validitasnya karena sejumlah alasan berikut. Pertama, terlihat hubungan kausal dan sirkuler (berputar-putar) antara beberapa factor. Sebagai contoh, faktor pertama (tingkat pendidikan yang rendah) bisa menjadi penyebab (kausa) dari faktor kedua (cara berpikir tradisional dan konservatif); tetapi bisa juga sebaliknya (ingat kasus: telur-ayam-telur). Menurut hukum kausalitas, sebenarnya kedua factor itu tidak setara: yang satu menyebabkan yang lain, maka kedua faktor itu sebenarnya bisa dan harus direduksi menjadi satu, sementara yang lain hilang. Tetapi proses reduksi tidak mungkin karena adanya sifat sirkuler itu. Dengan demikian, kedua faktor tersebut gugur dengan sendirinya.
Kedua, dan ini lebih serius sifatnya: ada tiga faktor yang merujuk kepada “pengkambinghitaman” alam, yakni faktor (4), (5) dan (6). Hal ini agak mengherankan, sebab berbagai kasus besar sepanjang sejarah dunia menunjukkan hal yang sebaliknya: alam yang sering mengganggu, mengambuk dan tidak bersahabat justru menjadi pemicu dan pendorong lahirnya kreativitas manusia sepanjang zaman, pendorong lahirnya ilmu dan teknologi yang memungkinkan manusia tidak saja berhasil menjinakkan alam tetapi juga menaklukkannya. Dua dari begitu banyak contoh dapat dikemukakan di sini: Jepang yang terletak di daerah gempa (seperti juga Nias) dan miskin sumber daya alamnya dan Australia modern yang lahir dari perjuangan “para orang buangan bangsa Eropa” yang menantang alam “terra incognita” Australia.
Memang, seperti dikemukakan van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan (1980), ada tahap kebudayaan yang disebutnya tahap ontologis di mana manusia pasrah pada alam, tahap di mana manusia mencari jawaban ‘seadanya’ dari pertanyaan yang sering mengusik eksistensinya setiap saat. Pada tahap itulah, misalnya, masyarakat meyakini kausalitas antara bunyi gendang, tambur atau kentong yang dipukul dengan menghilangnya gerhana bulan. Hal (baca: tahap) itu masih dialami masyarakat Nias pada tahun 1970an ke bawah, bahkan masih dijumpai di sana sini hingga saat ini. Persoalannya adalah kita, yang bangga disebut kaum “intelektual”, kaum “terdidik” seperti masih berada dalam tahap ontologis itu.
Ketiga, kemiskinan adalah hal yang dapat dikuantifikasi, artinya hal yang dapat (dan mestinya) dinyatakan secara kuantitatif. Kita misalnya mengenal apa yang disebut sebagai pendapatan per kapita yang menjadi ukuran apakah masyarakat di daerah tertentu berada di atas, tepat pada atau di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, faktor-faktor penyebabnya pun mesti dapat dikuantifikasi. Dengan cara ini kita dengan mudah melihat bobot pengaruh dari masing-masing faktor terhadap pokok masalah (kemiskinan). Faktor-faktor yang dikemukakan di atas terlalu sulit (kalau tidak mustahil) untuk dikuantifikasi, sehingga kita tidak akan pernah bisa memunculkan suatu rujukan bersama daripadanya. Dengan demikian, membicarakannya saja sudah akan menggiring kita ke dalam suatu perdebatan yang melingkar-lingkar dan tak berkesudaan.
Keempat, dengan menggugat 5 (yaitu faktor no 1, 2, 4, 5, 6) dari ke 7 faktor yang dikemukakan di atas, rangkuman tersebut menjadi tidak relevan. Namun terlepas dari argumen ini, faktor ke 7 (rendahnya kinerja dan budaya korup aparat pemerintahan di daerah) semestinya tidak dimasukkan menjadi salah satu faktor penyebab keterpurukan. Faktor ke 7 justru seharusnya menjadi asumsi dasar atau prakondisi pembangunan itu sendiri: pembangunan daerah dilakukan oleh aparat pemerintahan daerah yang bersih, berkinerja tinggi, dan mempunyai visa dan misi yang jelas. Asumsi dasar atau prakondisi ini akan bisa direalisasikan oleh DPRD yang bekerja baik, jujur, berdedikasi tinggi, berwawasan luas, yang akan memilih untuk masyarakat Nias seorang pemimpin yang pada dirinya melekat asumsi dasar tadi.
F. Kebijakan Antikemiskinan
Kebijakan anti kemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting dari lembaga-lembaga dunia, seperti Bank Dunia, ADB,ILO, UNDP, dan lain sebagainya.
Tahun 1990, Bank Dunia lewat laporannya World Developent Report on Proverty mendeklarasikan bahwa suatu peperangan yang berhasil melawan kemiskinan perlu dilakukan secara serentak pada tiga front :
(i) pertumbuhan ekonomi yang luas dan padat karya yang menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelompok miskin,
(ii) pengembangan SDM (pendidikan, kesehatan, dan gizi), yang memberi mereka kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi,
(iii) membuat suatu jaringan pengaman sosial untuk mereka yang diantara penduduk miskin yang sama sekali tidak mamu untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan perkembangan SDM akibat ketidakmampuan fisik dan mental, bencana alam, konflik sosial, dan terisolasi secara fisik.
Untuk mendukung strategi yang tepat dalam memerangi kemiskinan diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan perantaranya dapat dibagi menurut waktu, yaitu :
Ø Intervensi jangka pendek, berupa :
1. Pembangunan sektor pertanian, usaha kecil, dan ekonomi pedesaan
2. Manajemen lingkungan dan SDA
3. Pembangunan transportasi, komunikasi, energi dan keuangan
4. Peningkatan keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pembangunan
5. Peningkatan proteksi sosial (termasuk pembangunan sistem jaminan sosial)
Ø Intervensi jangka menengah dan panjang, berupa :
1. Pembangunan/penguatan sektor usaha
2. Kerjsama regional
3. Manajemen pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi
4. Desentralisasi
5. Pendidikan dan kesehatan
6. Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
7. Pembagian tanah pertanian yang merata
Referensi :
Tulus, Tambunan, 2006, “Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama Hingga Pasca Krisis”, Jakarta : Pustaka Quantum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar