SEJARAH EKONOMI INDONESIA SEJAK ORDE LAMA HINGGA ERA REFORMASI
A. Pemerintahan Orde Lama
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti Indonesia bebas dari Belanda. Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia selama dekade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965 Indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah seperti di Sumatera dan Sulawesi. Akibatanya, selama pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama dekade 1950-an, dan setelah itu turun drastis menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1956-1966.
Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit APBN terus membesar dari tahun ke tahun. Misalnya, APBN berdasarkan data yang dihimpun oleh Mas’oed (1989), jumlah pendapatan pemerintah rata-rata per tahun selama periode 1955-1965 sekitar 151 juta rupiah (disebut rupiah “baru”), sedangkan besarbya pengeluaran pemerintah rata-rata per tahun selama periode yang sama 359 juta rupiah, atau lebih dari 100% lebih besar dari rata-rata pendapatannya.
Selain itu, selama periode Orde Lama kegiatan produksi di sektor pertanian dan sektor industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung baik fisik maupun non-fisik. Akibata rendahnya volume produksi dari sisi suplai, dan tingginya permintaanakibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama.
Dapat disimpulkan bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik maupun non-fisik, selama penddukan Jepang, Perang Dunia II, dan Perang Revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah) ditambah lagi manajemen ekonomi makro yang sangat jelek.
Selama periode orde lama (1945-1966), perekonomian Indonesia tidak berjalan mulus bahkan sangat buruk yang juga disebabkan oleh ketidakstabilan politik di dalam negri. Ketidakstabilan tersebut diwarnai juga oleh perubahan kabinet selam 8 kali pada masa demokrasi parlementer pada periode 1959-1965, yang diawali oleh Kabinet Hatta (Desember 1949-September 1950), dan setelah itu berturut-turut Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952), Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953), Kabinet Ali I (Agustus 1953-Juli 1955), Kabinet Burhanuddin (Agustus 1955-Maret 1956), Kabinet Ali II (April 1956-Maret 1957), dan Kabinet Djuanda (Maret 1957-Agustus 1959).
Kebijakan paling penting yang dilakukan Kabinet Hatta adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional yang pada saat itu masih gulden . Pada masa Kabinet Natsir (kabinet pertama dalam negara kesatuan Republik Indonesia), untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perencanaan pembangunan ekonomi yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP),RUP ini digunakan oleh kabinet berikutnya meneruskan rencana pembangunan ekonomi lima tahun. Pada masa Kabinet Sukiman, kebijakan-kebijakan penting yang diambil adalah nasionalisasi De Javasche Banak menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan sistem kurs berganda. Pada masa Kabinet Wilopo, langkah-langkah kokrit yang diambil untuk memulihkan perekonomian Indonesia saat itu diantaranya adalah untuk pertama kalinya memperkenalkan anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor, melakukan “nasionalisasi” angkatan bersenjata melalui modernisasi dan pengurangan jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah. Pada masa Kabinet Ali I, hanya dua langkah konkrit yang dilakukan, yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat. Selama Kabinet Burhanuddin, tindakan-tindakan ekonomi yang dilakukan adalah liberalisasi impor, kebijakan uang ketat untuk menekan laju uang beredar, dan penyempurnaan Program Benteng , mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan investasi asing masuk ke Indonesia, memberi bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) Persetujuan Konfrensi Meja Bundarsebagai usaha untuk menghilangkan sistem ekonomi kolonial atau menghapuskan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia. Pada Kabinet Ali II, tidak ada langkah-langkah yang berarti selain mencanagkan sebuah rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima. Pada Kabinet Djuanda, tidak dapat berbuat banyak dalam pembangunan ekonomi karena banyaknya tekanan-tekanan dari masyarakat. Pada masa Kbinet Djuanda juga dilakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda.
Selam periode 1950-an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi masih dikuasai oleh pengusaha asing relatif lebih padat kapital dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi, dan perusahaan asing pada umumnya berada di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Struktur ekonomi tersebut, yang oleh Boeke (1954) disebut dual sucietis, adalah salah satu karakteristik utama dari NSB yang merupakan warisan kolonialisasi.
Selain kondisi politik di dalam negri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Orde Lama juga disebabkan oleh keterbatasan faktor-faktor produksi, seperti oranmg-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan/keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan industri), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang tinggi.
Pda akhir September 1965 ketidak stabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yanggagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastis di dalam negeri yang selanjutnya juga merubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa Orde Lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis.
B. Pemerintahan Orde Baru
Tepatnya pada bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat, dan menjauhi pengaruh ideologi kominis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya seperti Bank Dunia dan IMF.
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi,sosial, dan politik sertra rehabilitas ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi termasuk ekspor, yang sangat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencanapembangunan rencana lima tahun (repelita) secara bertahap dengan target yang jelas sangat di hargai oleh negara Barat. Menjelang akhir tahun 1960-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank Pembangunan Asia) dibentuk suatu kelompok konsorsium yang disebut Intrer-Goverment Group on Indonesia (IGGI) dengan tujuan membiayai pembanguanan ekonomi di Indonesia.
Tujuan jangka panjang pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi pada seperti rendahnya kesempatan kerja dan besarnya defisit neraca pembayaran. Sebelum pembanguanan dilanjutkan pada tahap berikutnya, yakni tinggal landas mengikuti pemikiran Rostow dalam stages of growth-nya, selain stabilitas, rehabilitas, dan pembangunan yang menyeluruh pada tahap dasar, tujuan utama daripada pelaksanaan Repelita I adalah untuk membuat Indonesia menjadi swasembada terutama dalam kebutuhan beras. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah melakukan program penghijauan (revolusi hijau) di sektor pertanian.
Pada bulan April 1969 Repelita I dimulai, dan dampaknya (juga dari repelita-repelita selanjutnya selama Orde Baru) terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan, terutama dilihat pada tingkat makro. Keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia pada masa Soeharto tidak saja disebabkan oleh kemampuan kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soeharto saja, tetapi juga berkat tiga hal : penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak, terutama periode oil boom pertama pada tahun 1973-1974, pinjaman luar negri, dan PMA yang sejak tahun 1980-an perannya didalam pembangunan ekonomi Indonesia meningkat tajam.
Akan tetapi pada tingkat meso dan mikro hasil pembangunan selama masa itu tidak terlalu memukau seperti pada tingkat makro. Walaupun jumlah orang miskin mengalami penurunan selama orde baru, namun jumlahnya masih besar dan kesenjangan ekonomi dan sosial cenderung melebar. Bahkan paradigma pembangunan ekonomi Indonesia pada era Orde Baru telah diwadahi dengan baik dalam konsep politik “Trilogi Pembangunan” , yaitu tiga persyaratn yang berkait erat secara saling memperkuat dan saling mendukung, yakni stabilitas nasional yang mantap dan dinamis dalam bidang politik dan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, dalam usaha menghilangkan dampak negatif dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi terhadap kesenjangan dan kemiskinan, atau untuk menghilangkan atau memperkecil efek trade off anatar pertumbuhan dan kesenjangann atau kemiskinan, di dalam GBHN dinyatakan secara tegas pentingnya usaha-usaha untuk menghilangkan kemiskinan dan kesenjangan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada waktu yang bersamaan.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa ada beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik:
1. Kemauan politik yang kuat
2. Stabilitas politik dan ekonomi
3. Sumber daya manusia yang lebih baik
4. Sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke barat
5. Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Dari kebaikan-kebaikan yang terjadi pada Orde Baru ternyata memiliki sisi buruk juga. Seperti buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman, dan Impor. Ini semua menyebabkan Indonesia dilanda krisis ekonomi yang besar yang diawali krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997.
C. Pemerintahan Transisi
Berawal dari turunnya mata uang Thailand (baht) turun terhadap dollar AS. Untuk memper5tahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, pemerintah Thailand melakukan intervensi dan didukun oleh intervensi yang dilakukan oleh bank sentral Singapur. Bank sentral Thailand mengumumkan nilai tukar baht dibebaskan dari ikatan dollar AS.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia. Pada bulan Juli 1997mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Menanggapi hal itu, BI melakukan 4 kali intervensi yakni memperlebar tentang intervensi. Akan tetapi, pengaruhnya tidak banyak nilai rupiah dalam dollar AS terus tertekan dan tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terndah dalam sejarah, yakni Rp 2,682per dollar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2,665per dollar AS.
Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak kembali buruk, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkrit diantaranya menambahproyek-proyek senilai Rp 59 triliyun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut. Akibat nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak sapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk intervensi untuk menahan dan mendongkrak nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia secara resmi meminta bantuan keuangan dari IMF. Hal itu juga dilakukan oleh pemerintah Thailand,Filiphina, dan Korea Selatan.
Pada akhir bulan Oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dollar AS, 23 miliar diantaranya adalah pertahanan lapis pertama (front-line defence). Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yangditentukan oleh IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan menutup 16 bank swastayang dinilai tidak sehat. Ini merupakan awal dari kehancuran dari perekonomian Indonesia.
Berbeda dengan Korea Selatan dan Thailand, dua negara yang sangat serius dalam melaksanakan program reformasi, pemerintah Indonesia ternyata tidak melakukan reformasai secara baik sesuai kesepakatan dengan IMF. Akhirnya, pencairan pinjaman angsuran kedua senilai 3 milyar dollar AS yang seharusnya dilakukan pada bulan Maret 1998 terpaksa diundur. Padahal Indonesia tidak ada jalan lain selain harus bekerja sama sepenuhnya dengan IMF, terutama karena dua hal:
1) Berbeda dengan kondisi krisis di Thailand, Korea Selatan, Filipina, dan Malaysia, krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan. Masyarakat dan dunia usaha, baik didalam maupun di luar negeri (termasuk bank-bank di negara-negara mitra dagang Indonesia yang tidak lagi menerima letter of credit (L/C) dan bank-bank nasional, dan investor-investor dunia) tidak lagi percaya akan kemampuan Indonesia untuk menaggulangi sendiri krisisnya. Oleh karena itu, satu-satunya yang masih bisa menjamin atau memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Indonesia adalah kekuatan “kemitraan usaha” sepenuhnya antara pemerintah Indonesia dengan IMF.
2) Indonesia sangat membutuhkan dollar AS, pada awal tahun 1998 kebutuhan itu diperkirakan sebesar 22,4 milyar dollar AS atau rata-rata 1,9 milyar dollar AS per bulan. Sementara, posisi cadangan devisa bersih yang dimiliki BI hingga awal Juni 1998 hanya 14,621,4 juta dollar AS, naik dari 13,179,7 juta dollar AS pada akhir Maret 1998. Kebutuhan itu digunakan untuk membayar ULN jangka pendek yang diperkirakan pada pertengahan tahun 1998 sebesar 20 milyar dollar AS, membayar bunga atas pinjaman jangaka panjang 0,9 milyar dollar AS dan sisanya 1,5 milyar dollar AS untuk kegiatan ekonomi di dalam negeri yang juga sangat diperlukan untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi.
Setelah gagl dalam pelaksanaan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi perundingan-perundingan baru antar pemerintah Indonesia dengan IMF pada bulan Maret 1998 dan dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan April 1998. Hasil perundingan dan kesepakatan dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen “ Memorandum Tambahan tentang Kebijakan Ekonomi Keuangan. Lima memorandum tambahan dalam kesepakat tersebut, yaitu:
Program stabilisasi => tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah hiperinflasi.
Restrukturisasi perbankan => tujuan utama untuk rangka penyehatan sistem perbankan nasional.
Reformasi struktural => yang mana disepakati agenda baru yang mencakup upaya-upaya dan sasaran yang telah disepakati dalam kesepakatan pertama (15 Januari 1998)
Penyelesaian ULN swasta (corporate debt). Dalam hal ini disepakati perlunya dikembangkan kerangka penyelesaian ULN swasta dengan keterlibatan pemerintah yang lebih besar, namun tetap dibatasi agar proses penyelesaiannya tetap berlangsung lebih cepat.
Bantuan untuk rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah). Penyelesaian ULN swasta dan bantuan untuk rakyat kecil merupakan dua hal yang di dalam kesepakatan pertama (Januari 1998) belum ada.
Menjelang minggu-minggu terakhir bulan Mei 1998, DPR untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai/diduduki oleh ribuan mahasiswa/mahasiswi dari puluhan perguruan tinggi dari Jakarta dan luar Jakarta. Puncak dari keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut, di satu pihak, dan dari krisis politik di pihak lain adalah pada tanggal 21 Mei 1998, yakni Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya Dr Habibie. Tanggal 22 Mei 1998 Presiden Habibie membentuk kabinet baru, awal dari terbentuknya pemerintahan transisi.
Pada awalnya pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Akan tetapi setelah setahun berlalu, masyarakat mulai melihat bahwa sebenarnya pemerintahan baru ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, mereka juga orang-orang rezim Orde Baru, dan tidak ada perubahan-perubahan yang nyata.Akibatnya masyarakat lebih suka menyebutnya pemerintahan transisi dari pada pemerintahan reformasi.
D. Pemerintahan Reformasai
Pemerintahan Reformasi dimulai pertengahan tahun 199. Dengan target :
a. Memulihkan perekonomian nasional sesuai dengan harapan masyarakat dan investor
b. Menuntaskan masalah KKN
c. Menegakkan supremasi hukum
d. Penegakkan hak asasi manusia
e. Pengurangan peranan ABRI dalam politik
f. Memperkuat NKRI (Penyelesaian disintegrasi bangsa)
Kondisi:
a) Pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi positif (mendekati 0)
b) Tahun 2000 pertumbuhan ekonomi 5%
c) Kondisi moneter stabil ( inflasi dan suku bunga rendah)
d) Tahun 2001, pelaku bisnis dan masyarakat kurang percaya kepada pemerintahan sebagai akibat dari pernyataan presiden yang controversial, KKN, dictator, dan perseteruan dengan DPR
e) Bulan maret 2000, cadangan devisa menurun dari US$ 29 milyar menjadi US$ 28,875 milyar
f) Hubungan dengan IMF menjadi tidak baik sebagai akibat dari: penundaan pelaksanaan amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah (terutama kebebasan untuk hutang pemerintah daerah dari LN); dan revisi APBN 2001.
g) Tahun 2001, pertumbuhan ekonomi cenderung negative, IHSG merosot lebih dari 300 poin, dan nilai tukar rupiah melemah dari Rp 7000 menjadi Rp 10.000 per US$.
E. Pemerintahan Gotong Royong
Mulai pertangahan 2001 dengan kondisi:
a) SBI 17%
b) Bunga deposito 18%
c) Inflasi periode Juli – Juli 2001 13,5% dengan asumsi inflasi 9,4% setelah dilakukan revisi APBN
d) Pertumbuhan PDB 2002 sebesar 3,66% dibawah target 4% sebagai akibat dari kurang berkembangnya investasi swasta (PMDN dan PMA)., ketidakstabilan politik, dan belum ada kepastian hokum.
F. Pemerintahan Indonesia Bersatu
Kabinet Indonesia Bersatu (Inggris: United Indonesia Cabinet) adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.
Saat diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2004 dan hasilnya bahwa SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY) sebagai presiden dari partai demokrat dan JUSUF KALLA (JK) sebagai wakil presiden yang berasal dari partai koalisi. dengan terpilihnya SUSILO BAMBANG YUDHOYONO atau yang akrab di panggil dengan SBY membentuk suatu kabinet yang di namakan kabinet Pemerintahan indonesia Bersatu. di dalam perekonomian, kasus pengangguran merupakan masalah utama yang diprioritaskan oleh pemerintah untuk salah satu untuk memajukan perekonomian indonesia. bukan hanya dalam bidang perekonomian tetapi di dalam bidang pendidikan juga sangat penting, untuk itu pemerintah juga mengadakan program BOS (biaya operasional sekolah) yang awalnya dilaksanakan hanya di sekolah yang berada di daerah Jakarta. program tersebut diadakan untuk meningkatkan taraf pendidikan kelas menengah kebawah yang bisanya hanya bisa sampai tingkat sekolah dasar saja dan itu juga tidak semua kelas bahwa bisa menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat dasar.
Kabinet ini dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk pertama kalinya, dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya, Presiden melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007.
Sumber :
Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama Hingga Pasca Krisis: Jakarta, Pustaka Quantum, 2006
kuswanto.staff.gunadarma.ac.id/.../SEJARAH+DAN+SISTEM+EKONOMI+ INDONESIA.doc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar